Minggu, 30 Desember 2012

Halo anakku

Minggu, 30 Desember 2012
"Kehamilan saya bisa dibilang termasuk mudah. Saya tidak mengalami morning sickness pada trimester pertama, tidak ada sakit maupun kompleksitas fisik, hanya punggung pegal-pegal dan tidak tahan gerah pada trimester terakhir. Yang SUNGGUH menyiksa. Namun terlalui juga and it wasn’t a big deal when I finally meet the baby. So here goes..."
Ini pertama kalinya saya melahirkan. Sebanyak apapun buku kehamilan yang saya baca, dan sebanyak apapun cerita melahirkan teman maupun ibu telah saya dengar (dan catat), tidak ada yang betul-betul membantu saya merasa baik-baik saja. Kepanikan terbesar terjadi dalam hidup saya waktu itu, ketika harus menghadapi sesuatu yang besar, yang tak diketahui, yang  PASTI  terjadi namun tak diketahui kapan waktunya.
Saya takut akan rasa sakit, saya takut terjadi sesuatu pada si kecil, saya takut harus ceasar karena ada komplikasi padanya, takut dengan zat kimia yang harus masuk ke dalam tubuh jika terjadi sesuatu, karena saya tak suka. Saya sedikit marah pada tubuh, karena sama sekali tak memberi sinyal-sinyal yang pasti. Beberapa kali terjadi Braxton Hicks, kontraksi pada rahim seperti akan melahirkan tapi bukan, yang lebih kuat dari biasanya, tanpa disertai pecah ketuban ataupun flek darah, yang justru membuat panik, karena tak begitu seharusnya urutan melahirkan. Flek darah harus keluar pertama, yang berarti jalan kelahiran sudah terbuka. Diikuti dengan kontraksi secara periodik, setiap beberapa jam, lalu setiap jam, lalu puluhan menit hingga berselang menit dan detik saja, di antara itu ketuban harus mulai pecah dan bayi harus mendorong dirinya sendiri ke ruang pelvis (jika kamu bisa meraba tulang panggulmu, ruang pelvis ada di antaranya, kecil kan? Nah kepala si bayi akan berada di sana).

Lalu tiba waktunya tugasmu mendorong. Ngeden. Sekuat tenaga. Namun juga harus menjaga intensitasnya agar dirimu tak lepas kendali dan merusak organ tubuh lain yang tertekan.

Tapi belum, saya belum melahirkan. Hari itu saya terbangun lebih awal. Braxton Hicks berakhir malam tadi, dan pagi ini begitu tenang, perkiraan hari lahir masih 2 minggu lagi. Saya boleh santai kalau begitu. Pergi ke teras rumah, menghirup udara pagi dan menyapa tetangga, menunggu tukang sayur, sembari minum air putih, meski sebelum hamil kebiasaan seperti ini jarang terjadi. Kehamilan membuat saya secara alami mengadaptasi gaya hidup yang lebih sehat. Saya tidak melakukannya sendiri. Setidaknya saya tidak merasa saya punya inisiatif itu. Tapi tubuh saya bergerak ke arah sana, saya tinggal ikut dan menikmati kemana pun tubuh ini mau. Ada waktu dimana saya sangat menginginkan makanan tertentu, padahal itu bukan pada trimester pertama dimana sepertinya semua ibu hamil ngidam.Saya juga sangat benci susu untuk ibu hamil, rasanya seperti air kena besi dicampur pasir rasa kacang dan sedikit susu dan untungnya tubuh ini tidak mengarahkan saya untuk meneguknya. Kecuali jika ada yang membuatkan. Mau ga mau deh, menyiksa diri sendiri. Memang aneh sih, dan saya ga ngerti harus menjelaskannya gimana. Benar-benar seperti ada kekuatan lain yang bukan saya menyuruh ini dan itu. Yang bisa saya lakukan hanyalah mencoba selaras saja dengan itu. Tidur, makan, bergerak, pergi keluar, menyendiri di kamar, menulis, apapun itu, seakan ada keinginan lebih kuat dari biasanya yang hanya sekedar ingin. Dan ketika saya melakukan hal tersebut, bukan rasa puas yang saya dapatkan, namun seperti rasa penuh ketika kamu memberikan permen kepada anak kecil, atau ketika kamu mengikhlaskan cardigan kesayanganmu dipakai adik dan ada sedikit robek...”it’s ok, I could buy another one, as long as her happy I don’t  mind.” Rasanya lebih kaya dan menyenangkan dari sekedar puas saja.




Entah bagaimana, tubuh saya yang begitu, mengajarkan untuk memberi...dan kali ini tanpa sedikitpun merasa ada yang diambil dari diri saya. Tidak sedikitpun. Tidak seperti ketika temanmu meminjam uang dan tak kunjung ia kembalikan, kamu punya kebutuhan tapi tak mau membuat segalanya jadi tak enak, dan kamu tak mau menjadi yang pertama membahas hal tersebut. Ini sama sekali tidak ada beban dan rasanya sangat lembut mendatangi diri saya.Hal tersebut membuat saya sedikit banyak paham akan konteks unconditionally love. Saya pikir kehadiran si bayi mengajarkan saya banyak, dan berkali-kali diingatkan, tentang cinta tanpa syarat. Seakan memberi menjadi kebiasaan sehari-hari seperti mengobrol dengan teman dekat. Kamu membutuhkannya, rasa yang muncul membuat bahagia, dan kamu tak kekurangan sesuatu apa, juga berlalu begitu halus dan santai seakan memang hal itu biasa.

Tips kehamilan tentang hidup sehat tidak lagi mengawang pada ranah pikiran. They are alive from within, subsconsciously. Jadi kamu seakan tinggal mengikutinya saja, bukan? Tak perlu lagi pembenaran dari mana-mana, buku dan orang lain.

Pukul 7 pagi itu, saya pipis padahal baru saja minum. Perut yang penuh membuat metabolisme jadi lebih cepat, dan saya suka. Karena saya merasakan tubuh saya sangat segar dan lebih powerful. Ealaah, ternyata ada bercak darah di celana dalam! Agak bingung dan sok tenang saya tanya pada ibu, yang katanya oh berarti sudah mau lahiran, tapi mungkin masih 2 hari lagi, jadi saya putuskan untuk periksakan ke bidan.

Pukul 9 pagi, bidan memasukkan tangannya yang bersarung ke dalam vagina (sakiit bok! Ga pake pelumas gitu diaaa), dengan 2 jarinya memeriksa perkiraan bukaan serviks. 2 cm. Bidan menyarankan saya untuk banyak berjalan, untuk melancarkan jalan lahir. Jam 3 saya harus kembali periksa. Saya bertanya apa boleh ke supermarket membeli kebutuhan bayi yang masih belum lengkap, karena dekat jadi boleh. Saya dan suami berangkat naik ojek dan angkot, belum punya kendaraan pribadi soalnya. Selama di jalan, kontraksi terjadi berkali-kali. Rasanya memang sakit hingga saya sendiri pusing, juga karena panas matahari, sih. Tapi sakit seperti itu bisa saya tahan, belly cramp sewaktu PMS masih lebih sakit, kok, saya menenangkan diri.

Pukul 12 siang, saya mulai ga tahan dengan tubuh yang sakit dan merengges, sakitnya seakan menyebar sampai ke ujung kuku, mood saya jadi jelek karena suasana ramai dan ketika pulang supir angkot menerabas jalanan jelek, yang membuat guncangan dan rasa sakit itu tak terelakkan lagi. Tapi saya masih tahan, belum sepuluh kali sakit sewaktu PMS. Masih bisa tenang-tenang aja sayanya.

Pukul 1 siang di rumah. Suami menyuruh saya berbaring aja, tenang-tenang, sementara dia packing untuk lahiran 2 hari lagi. Saya menyempatkan baca buku tentang hypnobirthing. Tapi ga selesai. Karena rasa sakitnya mengalihkan konsentrasi saya terhadap apapun. Saya hanya bisa berpegang pada pikiran logis untuk dapat berespon secara tepat akibat saya kehilangan orientasi. Tubuh saya berperang sendiri di dalam, sakit, orientasi barangsur seperti menghilang, respon seakan melambat karena tubuh tak memprioritaskan apapun yang  berasal dari luar. Rasa sakit ini memang luar biasa. Bukan intensitas sakitnya, tapi karena tak berasal dari luar, bukan seperti ketika kamu tersayat pisau atau tepercik minyak panas ketika menggoreng otak-otak yang meledak, rasa itu tumbuh dengan hebat dari dalam dan saya membiarkan saja dia hadir. Saya tak menolak sakitnya, saya mengamati ia menjalari tubuh saya, mengamati ketika orientasi hilang dan saya tak merespon jika tak penting.

Jujur saya menikmati itu. Luar biasa sekali rasanya. Sesuatu yang besar sedang terjadi dalam diri saya dan bersamaan dengan sakit yang penuh, saya merasa bahagia dan utuh.

Antara pukul 1 dan 2 siang, lupa tepatnya, saya memutuskan untuk periksa saja. Saking tak mampu berpikir harus bagaimana dengan rasa sakit seperti itu, dan saya hanya ingin berada di dekat seseorang yang tahu caranya membantu kelahiran, Bu Bidan yang membantu ibu melahirkan 2 adik saya juga. Ke klinik, saya jalan kaki. Sakit, dentuman langkah kaki tak pernah membeban seberat ini. Tapi karena hanya sejauh 1 blok, jalan kaki saja lah.

Setelah menunggu pasien sebelum saya yang check up, Bu Bidan meminta saya masuk ruang periksa dan berbaring saja. Tapi setelah selesai dengan pasien tadi, dan melihat keadaan wajah saya (beneran hanya melihat muka saya aja loh) Bu Bidan malah meminta saya langsung masuk ke ruang bersalin. Hah?! Kan masih 2 hari lagi bukan? Bu Bidan hanya bilang, sudah masuk saja. Saya panik. Ini belum saatnya, adek jangan keluar dulu, Ibu belum selesai baca bukunya!!!

Tempat tidur melahirkan hanya sejauh dua langkah lagi, tapi sesuatu di dalam perut seperti ada yang jatuh, mendorong kuat, kepala si bayi masuk ruang pelvis!!! Kenapa sekarang?! Begitu kuat hingga saya sendiri hampir terjatuh dan untung cukup sigap berpegangan pada besi tempat tidur. Bidan mengenali gejala itu, tanpa melihat bukaan saya lebih dulu, ia menelpon dokter anastesi, dan teman sejawatnya yang harus belajar membantu kelahiran. BISA GA SIH NELPONNYA DI LUAR RUANGAN?! Dalam hati saya mengutuknya yang membuat saya panik dan tak menyentuh saya sama sekali, meski saya tahu ia sedang menyiapkan perangkat melahirkan. Oh ya ampun, apa saya melihat gunting? Dan Syringe dan ampul obat entah apa? Astaga, astaga! Masa harus sekarang?!

Entah pukul berapa, meski saya ingin melihat jarum jam tepat berhenti dimana ketika anakku lahir, jam itu buram. Bukan jam, tapi penglihatan saya. Meski panik saya ingat sesekali untuk mengatur napas. Napas teratur membuyar rasa sakit. Ketika rasanya hadir dan menguat lagi, serangan panik timbul lagi, lalu atur napas lagi. Tapi saya lupa cara bernapas yang ada di buku saking paniknya. Buyar semua! Yang penting saat itu hanya bagaimana meredam rasa sakit, yang tak kunjung berhasil, karena ia hadir terus menerus. Seakan waktu jadi stretched, apa ya..meregang? Semua seakan menjadi lambat, suara kabur, pandangan juga. Saya ingat banyak pikiran melalui saya tapi respon untuk meneruskan perintah dalam pikiran seperti menunggu mana yang harus diprioritaskan. Saya bilang, lihat jamnya! Atur napas! Jangan dorong! (Karena kontraksi-kontraksinya mulai ‘meminta’ saya untuk mendorong bayi ini keluar). Tapi tidak ada yang saya lakukan. Saya tak tahu harus apa.Bidanpun belum menghampiri. Sampai-sampai ketika saya diinfus Ringer laktat hanya sebagai tenaga tambahan (menurut bidan saya tak perlu induksi), saya tak merasakan sakitnya ditusuk jarum. Juga ketika tangan bersarung Bidan memeriksa bukaan serviks, yang sudah sempurna (hellooow, katanya dua hari), saya tak lagi merasakan sakit seperti pertama periksa. Saya tak ingat apa menyebut nama Tuhan atau tidak. Saking buyar semua.

Usaha mendorong pertama tidak menghasilkan si bayi keluar. Bidan membalik badan, hanya bilang “sebentar yaa”, lalu KRESS, saya ga sadar apa yang terjadi dan tak merasakan apa-apa, hanya berpusat pada rasa sakit yang menjalar, hingga bidan bilang, barusan saya gunting sedikit vaginanya ya, supaya bayi mudah keluar. WHAT THE FUUUUCKK?!!! Ngga, saya ngga bilang WTF, saya cuma heran dengan kebebalan tubuh sampai-sampai digunting tanpa bius ngga ada rasanya sama sekali.

Pada usaha mendorong kedua, saya merasa kurang menarik napas panjang, sehingga tenaga mendorongnya tidak sekuat pertama rasanya, dan ketika saya merasa hampir tak kuat lagi, si bayi keluar dengan licinnya, lembut menyapa dinding vagina sambil membawa rasa hangat yang saya rindukan....

Tubuh saya seakan pulih dari kesakitan-kesakitan tadi, ada kelegaan yang tinggal sesaat waktu itu. Si bayi tak kekurangan apapun, dan kami baru tahu ia perempuan. Padahal perlengkapan bayi yang kami beli untuk laki-laki (warna biru dan model celana cowok). Tapi tak masalah lah. Saya menjalani Inisiasi Menyusui Dini, si bayi ditelungkupkan di perut saya, hangat, dan ia sudah mulai membuka matanya. Hitam dan dalam. Momen terindah sekaligus membingungkan. Saya sudah tahu ia akan hadir, tapi rasanya masih belum kenal sekali. Si bayi mulai bergerak-gerak, menjilati tubuh saya, menelan kuman-kuman di tubuh saya. Saya menyentuhnya lembut, hampir tak percaya bahwa si kecil ini yang selama ini mendiami tubuh saya. Payudara saya diremas bidan lain, dan lalu keluar lah cairan kolostrum. Karena tak sabar, ia mengangkat si bayi dan langsung mengarahkan ke payudara saya. Agak kecewa sih, saya ingin semuanya natural, tapi saya takut juga si bayi kedinginan.

Dalam ketelanjangan saya dan dia, kami menyentuh kulit masing-masing, berbagi rasa hangat tubuh, dan pelan-pelan saling berkenalan.

December 2012 By: Andina Septia Widya


Hungry Heart © 2014