"Kehamilan saya bisa dibilang termasuk mudah. Saya tidak mengalami morning sickness pada trimester pertama, tidak ada sakit maupun kompleksitas fisik, hanya punggung pegal-pegal dan tidak tahan gerah pada trimester terakhir. Yang SUNGGUH menyiksa. Namun terlalui juga and it wasn’t a big deal when I finally meet the baby. So here goes..."
Ini pertama kalinya saya melahirkan. Sebanyak
apapun buku kehamilan yang saya baca, dan sebanyak apapun cerita melahirkan
teman maupun ibu telah saya dengar (dan catat), tidak ada yang betul-betul
membantu saya merasa baik-baik saja. Kepanikan terbesar terjadi dalam hidup
saya waktu itu, ketika harus menghadapi sesuatu yang besar, yang tak diketahui,
yang PASTI terjadi namun tak diketahui kapan waktunya.
Saya takut akan rasa sakit, saya takut terjadi
sesuatu pada si kecil, saya takut harus ceasar karena ada komplikasi padanya,
takut dengan zat kimia yang harus masuk ke dalam tubuh jika terjadi sesuatu,
karena saya tak suka. Saya sedikit marah pada tubuh, karena sama sekali tak
memberi sinyal-sinyal yang pasti. Beberapa kali terjadi Braxton Hicks,
kontraksi pada rahim seperti akan melahirkan tapi bukan, yang lebih kuat dari
biasanya, tanpa disertai pecah ketuban ataupun flek darah, yang justru membuat
panik, karena tak begitu seharusnya urutan melahirkan. Flek darah harus keluar
pertama, yang berarti jalan kelahiran sudah terbuka. Diikuti dengan kontraksi
secara periodik, setiap beberapa jam, lalu setiap jam, lalu puluhan menit
hingga berselang menit dan detik saja, di antara itu ketuban harus mulai pecah
dan bayi harus mendorong dirinya sendiri ke ruang pelvis (jika kamu bisa meraba
tulang panggulmu, ruang pelvis ada di antaranya, kecil kan? Nah kepala si bayi
akan berada di sana).
Lalu tiba waktunya tugasmu mendorong. Ngeden.
Sekuat tenaga. Namun juga harus menjaga intensitasnya agar dirimu tak lepas
kendali dan merusak organ tubuh lain yang tertekan.
Tapi belum, saya belum melahirkan. Hari itu
saya terbangun lebih awal. Braxton Hicks berakhir malam tadi, dan pagi ini
begitu tenang, perkiraan hari lahir masih 2 minggu lagi. Saya boleh santai
kalau begitu. Pergi ke teras rumah, menghirup udara pagi dan menyapa tetangga,
menunggu tukang sayur, sembari minum air putih, meski sebelum hamil kebiasaan
seperti ini jarang terjadi. Kehamilan membuat saya secara alami mengadaptasi
gaya hidup yang lebih sehat. Saya tidak melakukannya sendiri. Setidaknya saya
tidak merasa saya punya inisiatif itu. Tapi tubuh saya bergerak ke arah sana,
saya tinggal ikut dan menikmati kemana pun tubuh ini mau. Ada waktu dimana saya
sangat menginginkan makanan tertentu, padahal itu bukan pada trimester pertama
dimana sepertinya semua ibu hamil ngidam.Saya juga sangat benci susu untuk ibu
hamil, rasanya seperti air kena besi dicampur pasir rasa kacang dan sedikit
susu dan untungnya tubuh ini tidak mengarahkan saya untuk meneguknya. Kecuali
jika ada yang membuatkan. Mau ga mau deh, menyiksa diri sendiri. Memang aneh
sih, dan saya ga ngerti harus menjelaskannya gimana. Benar-benar seperti ada
kekuatan lain yang bukan saya menyuruh ini dan itu. Yang bisa saya lakukan
hanyalah mencoba selaras saja dengan itu. Tidur, makan, bergerak, pergi keluar,
menyendiri di kamar, menulis, apapun itu, seakan ada keinginan lebih kuat dari
biasanya yang hanya sekedar ingin. Dan ketika saya melakukan hal tersebut,
bukan rasa puas yang saya dapatkan, namun seperti rasa penuh ketika kamu
memberikan permen kepada anak kecil, atau ketika kamu mengikhlaskan cardigan
kesayanganmu dipakai adik dan ada sedikit robek...”it’s ok, I could buy another
one, as long as her happy I don’t mind.”
Rasanya lebih kaya dan menyenangkan dari sekedar puas saja.
Entah bagaimana, tubuh saya yang begitu,
mengajarkan untuk memberi...dan kali ini tanpa sedikitpun merasa ada yang diambil
dari diri saya. Tidak sedikitpun. Tidak seperti ketika temanmu meminjam uang
dan tak kunjung ia kembalikan, kamu punya kebutuhan tapi tak mau membuat
segalanya jadi tak enak, dan kamu tak mau menjadi yang pertama membahas hal
tersebut. Ini sama sekali tidak ada beban dan rasanya sangat lembut mendatangi
diri saya.Hal tersebut membuat saya sedikit banyak paham akan konteks
unconditionally love. Saya pikir kehadiran si bayi mengajarkan saya banyak, dan
berkali-kali diingatkan, tentang cinta tanpa syarat. Seakan memberi menjadi
kebiasaan sehari-hari seperti mengobrol dengan teman dekat. Kamu
membutuhkannya, rasa yang muncul membuat bahagia, dan kamu tak kekurangan
sesuatu apa, juga berlalu begitu halus dan santai seakan memang hal itu biasa.
Tips kehamilan tentang hidup sehat tidak lagi
mengawang pada ranah pikiran. They are alive from within, subsconsciously. Jadi
kamu seakan tinggal mengikutinya saja, bukan? Tak perlu lagi pembenaran dari
mana-mana, buku dan orang lain.
Pukul 7 pagi itu, saya pipis padahal baru saja
minum. Perut yang penuh membuat metabolisme jadi lebih cepat, dan saya suka.
Karena saya merasakan tubuh saya sangat segar dan lebih powerful. Ealaah,
ternyata ada bercak darah di celana dalam! Agak bingung dan sok tenang saya
tanya pada ibu, yang katanya oh berarti sudah mau lahiran, tapi mungkin masih 2
hari lagi, jadi saya putuskan untuk periksakan ke bidan.
Pukul 9 pagi, bidan memasukkan tangannya yang
bersarung ke dalam vagina (sakiit bok! Ga pake pelumas gitu diaaa), dengan 2
jarinya memeriksa perkiraan bukaan serviks. 2 cm. Bidan menyarankan saya untuk
banyak berjalan, untuk melancarkan jalan lahir. Jam 3 saya harus kembali
periksa. Saya bertanya apa boleh ke supermarket membeli kebutuhan bayi yang
masih belum lengkap, karena dekat jadi boleh. Saya dan suami berangkat naik
ojek dan angkot, belum punya kendaraan pribadi soalnya. Selama di jalan,
kontraksi terjadi berkali-kali. Rasanya memang sakit hingga saya sendiri
pusing, juga karena panas matahari, sih. Tapi sakit seperti itu bisa saya
tahan, belly cramp sewaktu PMS masih lebih sakit, kok, saya menenangkan diri.
Pukul 12 siang, saya mulai ga tahan dengan
tubuh yang sakit dan merengges, sakitnya seakan menyebar sampai ke ujung kuku,
mood saya jadi jelek karena suasana ramai dan ketika pulang supir angkot
menerabas jalanan jelek, yang membuat guncangan dan rasa sakit itu tak
terelakkan lagi. Tapi saya masih tahan, belum sepuluh kali sakit sewaktu PMS.
Masih bisa tenang-tenang aja sayanya.
Pukul 1 siang di rumah. Suami menyuruh saya berbaring
aja, tenang-tenang, sementara dia packing untuk lahiran 2 hari lagi. Saya
menyempatkan baca buku tentang hypnobirthing. Tapi ga selesai. Karena rasa
sakitnya mengalihkan konsentrasi saya terhadap apapun. Saya hanya bisa
berpegang pada pikiran logis untuk dapat berespon secara tepat akibat saya
kehilangan orientasi. Tubuh saya berperang sendiri di dalam, sakit, orientasi barangsur
seperti menghilang, respon seakan melambat karena tubuh tak memprioritaskan
apapun yang berasal dari luar. Rasa
sakit ini memang luar biasa. Bukan intensitas sakitnya, tapi karena tak berasal
dari luar, bukan seperti ketika kamu tersayat pisau atau tepercik minyak panas
ketika menggoreng otak-otak yang meledak, rasa itu tumbuh dengan hebat dari
dalam dan saya membiarkan saja dia hadir. Saya tak menolak sakitnya, saya
mengamati ia menjalari tubuh saya, mengamati ketika orientasi hilang dan saya
tak merespon jika tak penting.
Jujur saya menikmati itu. Luar biasa sekali
rasanya. Sesuatu yang besar sedang terjadi dalam diri saya dan bersamaan dengan
sakit yang penuh, saya merasa bahagia dan utuh.
Antara pukul 1 dan 2 siang, lupa tepatnya,
saya memutuskan untuk periksa saja. Saking tak mampu berpikir harus bagaimana
dengan rasa sakit seperti itu, dan saya hanya ingin berada di dekat seseorang
yang tahu caranya membantu kelahiran, Bu Bidan yang membantu ibu melahirkan 2
adik saya juga. Ke klinik, saya jalan kaki. Sakit, dentuman langkah kaki tak
pernah membeban seberat ini. Tapi karena hanya sejauh 1 blok, jalan kaki saja
lah.
Setelah menunggu pasien sebelum saya yang
check up, Bu Bidan meminta saya masuk ruang periksa dan berbaring saja. Tapi
setelah selesai dengan pasien tadi, dan melihat keadaan wajah saya (beneran
hanya melihat muka saya aja loh) Bu Bidan malah meminta saya langsung masuk ke
ruang bersalin. Hah?! Kan masih 2 hari lagi bukan? Bu Bidan hanya bilang, sudah
masuk saja. Saya panik. Ini belum saatnya, adek jangan keluar dulu, Ibu belum
selesai baca bukunya!!!
Tempat tidur melahirkan hanya sejauh dua
langkah lagi, tapi sesuatu di dalam perut seperti ada yang jatuh, mendorong
kuat, kepala si bayi masuk ruang pelvis!!! Kenapa sekarang?! Begitu kuat hingga
saya sendiri hampir terjatuh dan untung cukup sigap berpegangan pada besi
tempat tidur. Bidan mengenali gejala itu, tanpa melihat bukaan saya lebih dulu,
ia menelpon dokter anastesi, dan teman sejawatnya yang harus belajar membantu
kelahiran. BISA GA SIH NELPONNYA DI LUAR RUANGAN?! Dalam hati saya mengutuknya
yang membuat saya panik dan tak menyentuh saya sama sekali, meski saya tahu ia
sedang menyiapkan perangkat melahirkan. Oh ya ampun, apa saya melihat gunting?
Dan Syringe dan ampul obat entah apa? Astaga, astaga! Masa harus sekarang?!
Entah pukul berapa, meski saya ingin melihat
jarum jam tepat berhenti dimana ketika anakku lahir, jam itu buram. Bukan jam,
tapi penglihatan saya. Meski panik saya ingat sesekali untuk mengatur napas.
Napas teratur membuyar rasa sakit. Ketika rasanya hadir dan menguat lagi, serangan
panik timbul lagi, lalu atur napas lagi. Tapi saya lupa cara bernapas yang ada
di buku saking paniknya. Buyar semua! Yang penting saat itu hanya bagaimana
meredam rasa sakit, yang tak kunjung berhasil, karena ia hadir terus menerus.
Seakan waktu jadi stretched, apa ya..meregang? Semua seakan menjadi lambat,
suara kabur, pandangan juga. Saya ingat banyak pikiran melalui saya tapi respon
untuk meneruskan perintah dalam pikiran seperti menunggu mana yang harus
diprioritaskan. Saya bilang, lihat jamnya! Atur napas! Jangan dorong! (Karena
kontraksi-kontraksinya mulai ‘meminta’ saya untuk mendorong bayi ini keluar).
Tapi tidak ada yang saya lakukan. Saya tak tahu harus apa.Bidanpun belum
menghampiri. Sampai-sampai ketika saya diinfus Ringer laktat hanya sebagai
tenaga tambahan (menurut bidan saya tak perlu induksi), saya tak merasakan
sakitnya ditusuk jarum. Juga ketika tangan bersarung Bidan memeriksa bukaan
serviks, yang sudah sempurna (hellooow, katanya dua hari), saya tak lagi
merasakan sakit seperti pertama periksa. Saya tak ingat apa menyebut nama Tuhan
atau tidak. Saking buyar semua.
Usaha mendorong pertama tidak menghasilkan si
bayi keluar. Bidan membalik badan, hanya bilang “sebentar yaa”, lalu KRESS,
saya ga sadar apa yang terjadi dan tak merasakan apa-apa, hanya berpusat pada
rasa sakit yang menjalar, hingga bidan bilang, barusan saya gunting sedikit
vaginanya ya, supaya bayi mudah keluar. WHAT THE FUUUUCKK?!!! Ngga, saya ngga
bilang WTF, saya cuma heran dengan kebebalan tubuh sampai-sampai digunting
tanpa bius ngga ada rasanya sama sekali.
Pada usaha mendorong kedua, saya merasa kurang
menarik napas panjang, sehingga tenaga mendorongnya tidak sekuat pertama
rasanya, dan ketika saya merasa hampir tak kuat lagi, si bayi keluar dengan
licinnya, lembut menyapa dinding vagina sambil membawa rasa hangat yang saya
rindukan....
Tubuh saya seakan pulih dari
kesakitan-kesakitan tadi, ada kelegaan yang tinggal sesaat waktu itu. Si bayi
tak kekurangan apapun, dan kami baru tahu ia perempuan. Padahal perlengkapan
bayi yang kami beli untuk laki-laki (warna biru dan model celana cowok). Tapi
tak masalah lah. Saya menjalani Inisiasi Menyusui Dini, si bayi ditelungkupkan
di perut saya, hangat, dan ia sudah mulai membuka matanya. Hitam dan dalam.
Momen terindah sekaligus membingungkan. Saya sudah tahu ia akan hadir, tapi
rasanya masih belum kenal sekali. Si bayi mulai bergerak-gerak, menjilati tubuh
saya, menelan kuman-kuman di tubuh saya. Saya menyentuhnya lembut, hampir tak
percaya bahwa si kecil ini yang selama ini mendiami tubuh saya. Payudara saya
diremas bidan lain, dan lalu keluar lah cairan kolostrum. Karena tak sabar, ia
mengangkat si bayi dan langsung mengarahkan ke payudara saya. Agak kecewa sih, saya
ingin semuanya natural, tapi saya takut juga si bayi kedinginan.
Dalam ketelanjangan saya dan dia, kami
menyentuh kulit masing-masing, berbagi rasa hangat tubuh, dan pelan-pelan
saling berkenalan.
December 2012 By: Andina Septia Widya